Wednesday, March 21, 2007

TERPAKSA HARUS KORUPSI



Oleh

Peribadi

Seorang mahasiswa pada program studi sosiologi yang memohon kontribusi pemikiran saya untuk melakukan penelitian tentang “persepsi masyarakat Kabupaten Bombana terhadap Pilkada langsung”. Seketika juga saya menunjukkan kepadanya untuk membaca dua artikel yang ditulis oleh pengamat politik yang cukup berkompoten di bidangnya, yakni Saiful Mujani yang berjudul “Tak Ada Sedekah Dari Pemilih” dan Karni Ilyas yang membedah soal “Rame-Rame Pulang Kampung” (Tempo, 12 Juni 2005).

Agar tidak luput dari data spektakuler, maka saya menyarankan kepadanya untuk terlebih dahulu membaca kedua artikel ini. Paling tidak, beranjat dari dasar deskripsi dan analisis tersebut, anda bisa jadikan sebagai kerangka pengamatan dan wawancara untuk mencoba melakukan studi verifikasi di lokasi penelitian. Karena besar dugaan bahwa kasus-kasus yang dipresentasikan kedua pengamat kaliber Indonesia ini, juga terjadi di wilayah penelitian anda. Tergantung kemudian pada kemampuan metodologis anda untuk mengidentifikasi perilaku politisi busuk nan pacundang itu. Dan saya pun meyakini, sebab atas dukungan biaya DUE-Like kerja sama Unhalu, sehingga saya berkesempatan meneliti secara mendalam ikhwal “Pemilu dan Perilaku Politisi” dalam sebuah studi kasus di Kota Kendari 2004.

Pertama, Saiful Mujani menyayangkan dan bahkan amat terkesan menyesalkan atas perilaku rasional pemilih, tidak diikuti atau disertai dengan perilaku rasional politisi daerah. Karena menurutnya, para calon kepala daerah pada umumnya mengeluarkan biaya sangat besar untuk melakukan serangan fajar serta membagi-bagikan uang atau barang kepada calon pemilih. Calon lawan pun melakukan hal yang sama. Maka dengan logika yang lineal saja, mudah diterka bahwa ketika menang, kandidat akan mencari kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan plus labanya. Pasalnya, mungkinkah gaji seorang gubernur, bupati, atau walikota mencapai miliaran rupiah dalam lima tahun, sehingga modal pilkada dan labanya dapat diraih? Tentu tidak, dan karena itu korupsi adalah satu-satunya cara mengembalikan modal tersebut

Kedua, Karni Ilyas terkesan lebih rinci mengekspos ongkos pengorbanan para kandidat dimaksud, yakni sejak awal dalam upaya pencarian dukungan partai yang terkesan berbelit-belit, karena tidak diatur dalam undang-undang, sampai pada biaya kampanye dan upah saksi di TPS. Menurutnya, bagi bupati rata-rata harus menyediakan Rp 300 juta-Rp 500 juta. Sementara untuk calon gubernur disinyalir 10 kali lipat. Kalau misalnya biaya saksi pemungutan suara dibutuhkan dana Rp 100 ribu untuk sekadar uang makan dua orang saksi. Sudah pasti, kalau sebuah kabupaten terdapat sebanyak 800-1000 TPS, maka si calon bupati sekurangnya harus merogoh koceknya Rp 80 juta - Rp 100 juta. Angka itu juga harus dikalikan 10 untuk calon gubernur.

Memang betul, sebagaimana juga ditandaskan oleh kedua pengamat tersebut bahwa betapa.sulit dibayangkan kalau Pak Bupati, Wali Kota, atau Gubernur baru tidak berniat mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk duduk dikursi itu. Lebih celaka lagi - kata Karni Ilyas - kalau modal itu didapat dari atau dipinjamkan oleh para kontraktor atau supplier daerah. Sudahlah, yang pasti, tiada orang yang dibiarkan tidak bertanggung jawab. Tak pelak lagi, di Mahkamah Ilhiah nanti, takkan berfungsi kelincahan, kelicikan dan kelihaian kita sekalian.

No comments: