Wednesday, March 21, 2007

Sang Kritikus adalah Kawan Sejati

Oleh

Peribadi

Mungkin hanya sedikit orang saja yang berprinsip bahwa teman sejatiku adalah sang kritikus yang senantiasa transparan serta tulus ikhlas memberi saran dan pandangan yang meskipun pahit kedengarannya. Sebaliknya, betapa cukup banyak orang yang terkesan amat senang dengan pujian-pujian bombastis dari mereka yang nota bene ”tikus-tikusan”. Lebih celaka lagi, jika banyak orang yang tampak kebakaran jenggot ketika membaca atau mendengar kritikan dari orang lain. Padahal, mungkin saja kritikan itu amat bermanfaat.

Saran, pandangan dan kritikan bersumber dari berbagai kalangan yang mungkin saja adalah kawan dan lawan. Namun bagi seseorang yang tegar dengan prinsip ”Kritikus adalah Kawan Sejatiku”, maka segala macam tuturan dalam bentuk lisan dan tulisan, akan direspon dengan daya intelek dan rasional obyektif. Sementara bagi sang pacundang, mengklaim kritikan tersebut sebagai virus yang mematikan.

Betapa bahagianya bagi sekelompok orang, jika berkawan serta beraktivitas di bawah profil kepemimpinan yang cerdas merespon kritikan. Sebaliknya, tak terbayangkan bagaimana pedas dan pedisnya jika kita berkolega, dan tak pelak lagi kalau kita dipimpin oleh seseorang yang alergi dengan kritikan, serta senang dengan ungkapan picisan dan meninabobokkan.

Beruntunglah penulis yang seharian beraktivitas di gelanggang akademis yang insan citanya ber-nuansa kecendikiawanan serta keintelektualan, sehingga perbedaan pandangan dan analisis direspon sebagai ”Rahmatan Lilalamin”. Namun tidak berarti, diseberang tembok Perguruan Tinggi tidak bercirikan demikian, karena acapkali aktivitas di balik tirai Perguruan Tinggi, justru terkesan lebih dialogis ketimbang insan akademis. Namun itu sifatnya kasuistis.

Memang merupakan sebuah kecelakaan sejarah, jika insan akademis yang seyogyanya tampil dengan identitas ”debator dan kritikus ulung” karena modal kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional serta kecerdasan merespon kritikan, tiba-tiba dan sekonyong-konyong kelabakan dan sempoyongan karena mati akal menyimak ide-ide kontroversial. Namun penulis haqqul yakin, tidak mungkin ikhwal ini terjadi pada seorang pengajar dan pendidik yang selain beridentitaskan keilmuawan, juga adalah suri tauladan di benak dan di nurani mahasiswanya.

Karena itu, ketika membaca dan menyimak rentetan interupsi Agus Tohamba yang seolah bersambung memfokuskan idealismenya di Program Studi Sosiologi Fisip Unhalu, sungguh-sungguh mendapat respon intelektual di benak mantan-mantan pengajarmu. Bukan seperti yang dibayangkan sebagaimana tersirat dalam interupsi terakhirnya, jika memang tidak salah menyimaknya, yakni mungkinkah dosenku marah? Tidak, justru itu dapat menjadi bahan introspeksi proses belajar mengajar ke depan.

Akhirnya, meminjam istilah yang agus gunakan sendiri - amat berat rasanya jika gugatan dan saran ”ananda” kami tolak terhadap keberadaan dewan pengajar dalam hubungannya dengan kemampuan dan ketidakmampuan mahasiswa menulis sendiri skripsi untuk menyelesaikan studinya. Tepatlah sudah, pertanyaan yang terpenting adalah mengapa mahasiswa kini cenderung tidak cerdas menulis, ketimbang bertanya ”siapa yang menuliskan skripsinya”. Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Awak MPPI Sultra.

No comments: