Wednesday, March 28, 2007

PILKADA LANGSUNG:


Oleh

Peribadi

Koordinator Umum Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi dan

Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Fisip Unhalu.

PROLOG

Ada tiga ciri khas sistem pemerintahan Orba, yakni absolutisme kekuasaan eksekutif, sentralisme kekuasaan pemerintah pusat dan militerisme (Pamungkas, 2002). Namun karena tuntutan reformasi yang terus mengemuka, maka lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang desentralistis.

Oleh karena aspirasi masyarakat daerah terus berkembang, maka lahirlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengatur tentang pemilihan kepala daerah, kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Di Sulawesi Tenggara yang terdiri atas 8 wilayah kabupaten dan 2 wilayah Kota, yakni Kabupaten Konawe Selatan, Muna, Wakatobi, Kolaka Utara dan Kabupaten Bombana telah menyelenggarakan Pilkada dengan berbagai dinamika sosial politiknya masing-masing. Sementara Kabupaten Konawe, Kabupaten Buton dan Kabupaten Kolaka serta Kota Kendari dan Kota Bau sedang dalam persiapan penyelenggaraan Pilkada hingga pada tahun 2007 mendatang.

Berbagai permasalahan politik yang mencuat ke permukaaan, yang pada gilirannya ada yang berhasil diselesaikan serta ada pula yang masih terus dicarikan solusi alternatifnya. Sikap pro dan kontra di antara berbagai komponen masyarakat atas beberapa bentuk pelanggaran dan isyu money politic yang disinyalir terjadi sejak awal penentuan Balon di tingkat Parpol dan KPUD, proses pelaksanaan kampaye, pemungutan dan perhitungan suara, sehingga terpaksa harus diselesaikan di pengadilan sebelum pelantikan. Besar dugaan bahwa ikhwal ini terjadi, akibat dari visi, persepsi, sikap dan tindakan politik yang berbeda dan diduga kurang rasional dari kalangan elite dan kelas menengah selama proses pelaksanaan Pilkada.

TEORI PILIHAN RASIONAL DAN PERILAKU PEMILIH

Proses pelaksanaan Pilkada yang menjadi obyek dari persepsi masyarakat dimaksud, dapat dilihat dalam tinjauan sosiologi politik. Menurut Michael Rush dan Philip Althoff (2001 : 22) bahwa untuk mengetahui mata-rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, antara tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik, maka ada empat konsep dasar yang harus digunakan, yakni Sosialisasi politik, Partisipasi politik, Pengrekrutan politik, dan Komunikasi politik.

Menurut Surbakti (1992: 132) bahwa beberapa fakor yang diperkirakan mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang, yakni kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (sistem politik). Menurut Kristiadi (1996: 7) bahwa untuk mengetahui kecenderungan persepsi masyarakat sebagai suatu pilihan dari sekumpulan individu, maka ada tiga macam teori voting yang dapat dikelompokkan dalam tiga mashaf besar, yakni: teori voting dari mashaf sosiologis, psikologis dan ekonomis atau rasional. Namun menurut Kristiadi (1996: 8) bahwa studi dari kedua mashaf tersebut, kurang memuaskan para sarjana, sehingga dikembangkan pendekatan ekonomis atau rasional yang menekankan pada pemberian reaksi atau tanggapan dalam konteks untung rugi.

Menurut Martin (1993) bahwa perilaku politik adalah tindakan individual dan kelompok dalam melakukan tindakan-tindakan politik memiliki keterkaitan dengan kesadaran dan tujuan politik dari aktor yang memainkannya. Bahkan tingkah laku politik merupakan hasil dari pertemuan faktor-faktor struktur kepribadian keyakinan politik tindakan politik individu dan struktur serta proses politik menyeluruh.

Menurut Nashir (2000 : 28) bahwa keterkaitan antara faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang atau kelompok dapat dicermati dari adanya persepsi yang dimiliki terhadap suatu objek tertentu. Pada umumnya seseorang atau kelompok dipengaruhi oleh orientasi dan idealismenya menurut dua model analisis Geertz dan model Jackson yang melihat faktor pola hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam perilaku politik.

Dengan demikian, perilaku politik yang dilakukan oleh aktor sebagai manifestasi dari persepsi yang dimiliki seseorang akan dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. Kedua, lingkungan sosial politik yang langsung mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama sekolah dan kelompok pergaulan. Ketiga, struktur kepribadian tercermin dalam sikap individu. Dan keempat lingkungan politik langsung berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan.

Menurut Coleman dan Ritzer (2004: 394) bahwa teori pilihan rasional merupakan “tindakan rasional” dari seorang individu atau aktor untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan tujuan tertentu dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Menurut Santoso (2002: 106) bahwa pendekatan pilihan rasional memfokuskan perhatiannya pada pilihan yang dibuat orang ketika terlibat dalam perilaku politik. Asumsi dasarnya bahwa jika seseorang dihadapakan pada beberapa aksi alternatif, maka orang akan memilih aksi yang memaksimalkan kegunaan atau manfaat yang mereka harapkan. Menurutnya, jika teori pilihan rasional kurang memadai, maka kita dapat menggunakan teori perilaku memilih.

Fenomena Pelaksanaan Pilkada Langsung Tahun 2005

Menurut Sjamsuddin (2005) bahwa dalam pelaksanaan Pilkada Langsung ini ada dua faktor yang dapat mempengaruhi sukses tidaknya Pilkada yaitu : Pertama, adalah faktor pemilih baik dalam arti kuantitas maupun kualitasnya. Aspek kuantitas yaitu mengenai hak masyarakat untuk mendapat dan diberi kesempatan untuk memilih dan dipilih. Kedua, adalah faktor organisasi penyelenggara Pilkada Langsung, yang berfungsi sebagai penyelenggara belaka dan tidak mempunyai wewenang lain bahkan dalam pelaksanaan tugasnyapun ditentukan oleh pemerintah.

Menurut Kholik (2005: 7) bahwa setidaknya terdapat empat permasalahan pokok yang mewarnai pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah yakni meliputi: Pertama, kesulitan teknis yakni Pilkada sepenuhnya menggunakan kerangka kerja Pemilu tahun 2004 lalu dimana kenyataannya menunjukkan adanya kelemahan sisi teknis yang semestinya diperbaiki diantaranya menyangkut validasi pendaftaran pemilih, pembatasan jumlah pemilih per TPS, sistem administrasi perhitungan suara, dan lain-lain.

Kedua, hambatan legal basis yakni UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005 sebagai dasar hukum penyelenggaraan Pilkada dibuat dalam suasana ketergesaan sehingga secara substansi menimbulkan gugatan dari berbagai pihak, diantaranya menyangkut hubungan kerja KPUD sebagai penyelenggara yang harus bertanggung jawab kepada DPRD. Pola hubungan ini oleh beberapa pihak dianggap “menodai” independensi penyelenggara dan mengandung kerawanan. Oleh karena itu, dengan alasan inilah UU No. 32/2004 di judicial review dalam proses sidang Mahkama Konstitusi.

Ketiga, pola rekrutmen Calon Kepala Daerah, dimana persoalannya adalah rekrutmen calon hanya dapat dilakukan oleh partai politik (satu pintu) sementara calon independen terganjal. Kompleksitas permasalahan ini akan menjadi mengikat infra struktur Parpol di daerah tidak terlalu kuat, sehingga proses rekrutmen calon menjadi ajang yang rawan dengan “money politic” dan pada akhirnya hanya menghasilkan calon belum tentu berkualitas.

Keempat, beban anggaran. Penyelenggaraan Pilkada membutuhkan dukungan dana yang cukup besar diantaranya jumlah TPS yang membutuhkan dana operasional dan logistik.

Menurut W. Kusumah (2005) bahwa ada tujuh titik rawan dalam proses Pilkada langsung yang dapat diperkirakan meliputi: Pertama, proses penjaringan calon Kepala Daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik yaitu ketika mekanisme demokrasi di dalamnya tidak berjalan. Kedua, proses penetapan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah sebagai peserta oleh Komisi Pemilihan Umum, yakni ketika ada reaksi dari kelompok pendukung calon yang tidak memenuhi persyaratan. Ketiga, proses berlangsungnya kampanye dimana salah satu pendukun calon tidak memperhatikan rambu-rambu kampanye, sehingga terjadi bentrokan antar kelompok pendukung. Keempat, money politic, ketika mempertaruhkan untuk masuk sebagai calon dari partai politik atau gabungan partai politik. Kelima, reaksi sosial jika terdapat kecenderungan pelanggaran terhadap netralitas birokrasi yakni seorang calon masih berstatus sebagai PNS. Keenam, saat pemungutan suara dan perhitungan suara yakni ketika terjadi kecurangan-kecurangan oleh pihak manapun. Ketujuh, saat penetapan hasil perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/kota, juga saat pengesahan oleh DPRD dan waktu pelantikan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.

Sjamsuddin Haris (kompas, 2005) mengetengahkan lima sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan maupun pada saat pengumuman hasil Pilkada yaitu: Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon Kepala Daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik bersumber dari manipulasi dan kecenderungan perhitungan suara hasil Pilkada. Konflik juga dapat muncul jika aparat birokrasi (PNS, TNI/Polri) cenderung memobilisasi dukungan bagi kandidat dari unsur PNS, TNI dan Polri.

Kelima, konflik yang bersumber dari perdebatan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada. Sejumlah ketentuan Pilkada yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004, PP No. 6 tahun 2005, dan aturan main lainnya seperti Inpres, dan Kepmendagri potensial mengundang konflik jika ditafsirkan secara berbeda oleh peserta (kandidat berikut partainya), penyelenggara Pilkada (KPUD) dan Pemerintah Daerah serta DPRD.

Akan tetapi, menurut Hamid Awaluddin dan Progo Nurjaman (Media Indonesia, 9 Maret 2005) bahwa prinsip demokrasi dalam Pilkada telah diakomodasi dalam Undang-undang Pemerintah Daerah. Namun Alfitrah pakar otonomi daerah dari LIPI membantah pernyataan tersebut, menurutnya prinsip demokrasi yang dimaksud pemerintah hanya terbatas pada saat pemilihan, sedangkan dalam proses pencalonan prinsip tersebut diabaikan. Menurutnya prinsip demokrasi itu harus meliputi seluruh proses Pilkada, sejak pencalonan sampai pemilihan.

Akhirnya, Peribadi dalam sebuah interupsi: “Terpaksa Harus Korupsi ? mensinergikan dua pandangan pakar politik Indonesia (Tempo, 12 Juni 2005). Pertama, Saiful Mujani menyayangkan dan bahkan amat terkesan menyesalkan atas perilaku rasional pemilih, tidak diikuti atau disertai dengan perilaku rasional politisi daerah. Karena menurutnya, para calon kepala daerah pada umumnya mengeluarkan biaya sangat besar untuk melakukan serangan fajar serta membagi-bagikan uang atau barang kepada calon pemilih. Calon lawan pun melakukan hal yang sama.

Kedua, Karni Ilyas terkesan lebih rinci mengekspos ongkos pengorbanan para kandidat dimaksud, yakni sejak awal dalam upaya pencarian dukungan partai yang terkesan berbelit-belit, karena tidak diatur dalam undang-undang, sampai pada biaya kampanye dan upah saksi di TPS. Menurutnya, bagi bupati rata-rata harus menyediakan Rp 300 juta-Rp 500 juta. Sementara untuk calon gubernur disinyalir 10 kali lipat. Kalau misalnya biaya saksi pemungutan suara dibutuhkan dana Rp 100 ribu untuk sekadar uang makan dua orang saksi. Sudah pasti, kalau sebuah kabupaten terdapat sebanyak 800-1000 TPS, maka si calon bupati sekurangnya harus merogoh koceknya Rp 80 juta - Rp 100 juta. Angka itu juga harus dikalikan 10 untuk calon gubernur.

Dengan demikian, betapa.sulit dibayangkan kalau Pak Bupati, Wali Kota, atau Gubernur baru tidak berniat mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk duduk dikursi itu. Lebih celaka lagi - kata Karni Ilyas - kalau modal itu didapat dari atau dipinjamkan oleh para kontraktor atau supplier daerah.

EPILOG

Ir. H. Abdul Asiz Kahar Muzakkar Anggota DPD RI dalam suatu kesempatan kunjungannya ke Jembrana Bali dan berdialog langsung dengan Bupati dimaksud. Beliau yang memang Guru besar itu berkata kepada Ustaz Asiz bahwa “kami sudah kewalahan menyiapkan pelayanan para tamu (pada umumnya pejabat) yang datang dari berbagai penjuru nusantara dengan maksud untuk melakukan studi banding “ (nota bene penulis: belajar) di Jembrana-Bali.

Tampaknya, sang bupati yang bergelar Professor itu memiliki political will dan kepedulian yang amat sangat tinggi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan di daerahnya. Meskipun dengan PAD dan income perkapita yang rendah dibanding dengan daerah tetangganya di wilayah Bali. Akan tetapi, beliau berani membebaskan biaya pendidikan.

Menurut informasi Ustaz Asiz bahwa meskipun sudah sangat banyak orang yang datang menyaksikan dan mendengar penjelasan Bupati dan pengakuan masyarakat setempat. Namun hingga saat ini, belum ada juga pejabat yang berhasil menjadi murid terbaik dari guru dan bupati besar itu. Entah apa gerangan yang menjadi penyebab, sehingga mayoritas pejabat kita belum menunjukkan political will sebagaimana yang telah diperagakan oleh Bupati Jembrana-Bali, Bupati Wawolemo-Gorontalo, Bupati Bulukumba-Sulsel, dan tentu masih ada yang lain yang belum sempat penulis dengar dan ketahui. Kajian ini dikembangkan dalam forum MILAD IX KAMMI SULTRA, Kamis 30 Maret 2006.

No comments: