Wednesday, March 21, 2007

MENANGISI SANG PEMBOHONG

Oleh

Peribadi

Ada fenomena dan bahkan terasa cukup faktual di tengah masyarakat kontemporer, yakni merasa bangga ketika pandai berbohong. Dibohongi atau membohongi orang lain, seolah menjadi prestise khas ketika proses interaksi dan hubungan sosial tengah berlangsung di berbagai ruang kehidupan sosial. Tanpa kecuali, mulai dari kelas elite yang tampak cenderung membohongi rakyat, hingga sebaliknya, masyarakat umum pun terkesan pandai membohongi kaum elite-nya.

Seorang “politisi dadakan” atau memang “politisi profesional”, serta seorang yang diklaim “pemimpin karbitan” atau sebaliknya, seolah telah menjadi sebuah pameo khas bahwa “tidak mungkin bisa meraih posisi kursi panas, kalau tidak berpijak dari modal kecerdasan bohong-membohongi, baik di antara internal tim suksesnya, maupun dengan kontestuennya yang kurang beruntung.

Kita langsung saja meneropong kasus-kasus yang belum populer, karena belum menjadi Aceh dan Nias kedua, yakni daerah kabupaten yang lagi santer dengan persiapan Pesta Pilkada. Para kandidat masing-masing telah mempersiapkan visi-misi dalam konteks program kerja dan starategi pelaksanaannya. Namun diduga keras, para kandidat kurang berani dan kurang jujur membeberkan serta menandaskan dalam visi-misinya bahwa untuk menyelamatkan habitat dan mahluk hidup yang menghuni di sekitarnya, maka eksploitasi dan eksploirasi areal kehutanan tidak boleh dikembangkan atau harus dihentinkan sebagaimana yang secara konvensional telah dilakukan oleh petani lokal. Karena, kalau misalnya, ia jujur berkata demikian, maka, katanya – rakyat tidak ada yang memilihnya. Mungkin benar, namun jika seorang pemimpin yang sukses gemilang terpilih pada Pilkada tidak pusing dan tidak peduli dengan kondisi ekosistem dimaksud, maka ia tergolong “pengundang pengadilan alam” yang akhir-akhir ini menimpa dan melibas orang-orang bernoda dan belum berdosa sekaligus.

Abrasi pantai yang seringkali mulai merugikan petambak di wilayah Kabupaten Bombana, gundulisasi hutan kayu jati di Kabupaten Muna, dan yang tampak mengerikan dan semoga tidak terjadi, adalah areal perkebunan cengkeh-coklat di sepanjang pegunungan yang terbentang sepanjang wilayah Kabupaten Kolaka utara, serta demikian pula beberapa lokasi tambang yang telah cukup lama di eksploitasi di beberapa daerah di jazirah Sulawesi Tenggara. Fenomena ini harus menjadi bahan renungan dan pekerjaan rumah bagi mereka yang sedang bertarung di arena Pilkada. Jika pemimpin-pemimpin karbitan, ambisius dan serakah yang bakal terpilih, maka tunggulah saatnya, pengadilan alam yang bakal beraksi.

Kepopuleran bohong-membohongi seolah menjadi kunci suskes kedua setelah kiat hambur-menghambur uang. Tak perlu diperdebatkan, cukuplah sudah, apabila orang tua sudah pandai menangis, karena anak-anaknya kurang berfungsi maksimal otak kanannya. Marilah kita belajar menangisi disfungsionalisasi otak kanan dan amigdala kawula muda, tak terkecuali elite-elite kita. Jangan kita hanya pandai menangisi atas ketidakmampuan memfungsikan otak kiri. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

No comments: