Thursday, March 22, 2007

PERKAWANAN SEMU DI GELANGGANG PILKADA


Oleh

Peribadi

Bagamana merumuskan pendidikan politik sebaga upaya mengembangkan kecerdasan memilih seorang pigur yang bakal menentukan hidup-matinya rakyat selama satu periode kepempinan ? Adalah sebuah pertanyaan gampang-susah, karena terkadang kita menyangka kawan bodoh, padahal ternyata seringkali lebih pandai. Hanya saja, kecerdasan dan kebodohan dimaksud dalam tinjauan tipu menipu, bukan dalam indiktor kecerdasan, kearifan dan manusiawi. Contoh kasus, seorang musuh bebuyutan yang pernah memutahkan stigmatisasi politik dalam bentuk pembunuhan karakter, tiba-tiba beralih menjadi tim sukses pada kandidati yang bersangkutan. Betapa cukup banyak lelucon-lelucon politik yang berserakan di sana-sini.

Sekilas lintas fenomena bohong-membohongi yang menunjukkan perkawanan semu tampak marak berdendang di Pesta Pilkada yang menggelegar di seantero persada nusantara ini. Seorang Balon atau calon Bupati baik yang belum pasti menemukan pintu dan kendaraan politik, maupun yang sudah sukses gemilang diboyong oleh satu dan dua Parpol, terus merayap di gelanggang kontestan untuk menggarap kawan-kawan politik, termasuk dari kalangan bangsa jin dan lelembut melalui keahlian paranormal.

Akan tetapi, apakah mereka yang didatangi itu demikian mudah terbuai oleh gombalisasi politik, tanpa harus tersentuh imbalan amplovisme yang menina-bobokkan. Percikan amplop adalah amat mudah tergantikan ketika sukses gemilang menduduki kursi panas. Akan tetapi, secara khusus bagi bangsa lelembut yang biasanya akan meminta tumbalan-tumbalan metafisik yang harus memuaskan, bagaimana membalasnya ? Tak pelak lagi kalau seandainya gagal, maka terpaksalah kita menuai sesuatu yang telah terlanjur tertabur.

Nuansa kehidupan “menipu sang penipu” adalah seolah terkesan membanggakan pelakunya. Boleh jadi seperti kebanggaan yang dirasakan oleh seorang pemuda yang bertampang gembel dengan busana yang sobek-sobekan. Betapa aduhainya sang pemuda tersebut berjalan lalu-lalang sembari menggepulkan candu kebanggaannya. Demikian persiskah kebanggaan seseorang yang kategori peserta tanding Pilkada tersebut, ketika menghambur-menghamburkan dana siluman di lorong-lorong penggemarnya, sebagaimana yang setiap saat dinikmati kawula peresah masa depan bangsa dan negara tercinta ini ? Mungkin memerlukan penelitian kualitatif yang agak mendalam, sehingga kita memahami keaslian identitas masyarakat kontemporer.

Memang terkesan wajar-wajar saja dalam persepsi kebanyakan orang dewasa ini. Yang namanya kepingin sukses, maka tak ada salahnya kita menempuh berbagai macam metodologi perjuangan. Dan bagi penggemar yang bakal kejatuhan rezeki nomplok, seorang musuh bebuyutan dapat beralih menjadi kawan politik temporer. Penulis, Staf pengajar Fisip Unhalu.

No comments: