Thursday, March 22, 2007

SIAPA BAKAL JADI PENYELAMAT ?


Oleh

Peribadi

Memang amat sulit dibantah, kalau ada beberapa konsep nilai budaya yang acapkali direfleksikan dan diverifikasi oleh kaum Antropolog terhadap sikap dan perilaku manusia Indonesia, terutama kepada anak-anak bangsa pilihan yang dimanahi dengan sebuah tugas dan tanggung jawab masa depan.

Kalau dia misalnya sebagai pejabat dari kalangan eksekutif dan legislatif dan lain-lainnya, tampil menunjukkan dan mempertontonkan diri sekonyong-konyong menjadi Orang Kaya Baru (OKB), adalah berarti tergolong sebagai anak-anak bangsa yang “pragmatism”.

Kalau dia seorang guru dan dosen yang mengajar dengan prinsip yang penting shaf pengajaran tuntas tanpa perlu dipusingkan dengan kualitas siswa dan mahasiswa, adalah juga berarti kategori manusia yang bermental menerabas. Demikian halnya kaum peneliti dari kalangan akademisi dan lembaga-lembaga research lainnya, yang melakukan proses pengumpulan bahan dan data di lapangan, hanya sekedar menyalin data yang tercantum di papan monografi atau sekedar memfotocopy dokumentasi Kantor Desa/Kelurahan dan Kantor Kecamatan, adalah berarti enggan bertanggung jawab secara ilmiah.

Tak pelak lagi dalam konteks sosial politik, sikap mental avonturisam tampak jelas mewarnai interaksi sosial politik antara seorang politisi dengan para pendukungnya yang biasa digelar “tim sukses”. Betapa tidak, ketika misalnya sang elite politik yang nata bene ambisius merenggut dan mempertahankan status quo dengan menghalalkan berbagai cara, sekalipun terkadang harus memangsa kawula muda yang memang berbakat untuk beraksi di pentas sandiwara politik. Maka, berarti, oknum yang bersangkutan telah melebarkan sayap kebiadaban secara tranparan.

Memang, dalam interaksi sosial kita sehari-hari, disadari atau tidak, serta secara langsung dan tidak langsung, seseorang dalam berbagai kapasitasnya, seringkali kita melakukan pembunuhan karakter kepada orang-orang di sekitar kita. Disadari atau tidak, mungkin di antara kita pernah menyebarkan virus pembodohan serta mewariskan bakteri kejahatan mental kepada kawula muda yang menjadi harapan masa depan bangsa dan negara yang tengah dirundung malang ini.

Betapa kanibalnya mungkin, jika ada seorang politisi yang mencoba menyeberang di balik tembok perguruan tinggi mencari mangsa-mangsa politik dari kalangan mahasiswa untuk disetting menjadi budah-budak politik dengan insentif tertentu. Tak pelak lagi, jika hal itu misalnya dilakukan oleh seorang guru dan dosen yang membungkang atmosfir akademik dengan dalil picisan. Maka, tidak salah jika mereka diklaim sebagai pembunuh darah dingin

Namun demikian, kita harus optimis bahwa masih ada di antara elite-elite, politisi-politisi, pejabat-pejabat dan guru-guru kita yang tidak brutalisme dan butaisme. Di tengah reruntuhan moralitas kini, pasti dan pasti masih ada anak-anak bangsa yang serius memikirkan keselamatan bangsa dan negara tercinta ini. Mereka itu adalah yang memahami makna perubahan dalam konteks “change is a transformation procces from the comfort zone into discomfort zone”. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Aktivis MPPI Sultra dan Staf Pengajar Fisip Unhalu.

No comments: