Wednesday, March 21, 2007

Rintihan Tangis Kaum Nelayan






Oleh

Peribadi

Tepat pada musim Barat ketika sedang lesunya keadaan perekonomian desa-desa di pesisir pantai Kecamatan Laonti, peneliti MPPI Sultra hadir. Ketika itu, angin bertiup kencang dengan alunan ombak besar, sehingga nelayan lebih banyak tinggal di rumahnya. Kalau pada musim Timur atau musim ikan tiba, maka roda sosial perekonomian nelayan kembali bergerak.

Ikhwal suka duka sosial perekonomi nelayan yang terjadi pada setiap saat musim Barat tiba, merupakan hal biasa bagi warga komunitas nelayan setempat. Karena dari sekitar 75 persen yang menekuni nelayan sebagai usaha mata pencaharian utama, terdapat 25 persen di antaranya yang bergerak mencari tambahan penghasilan di bidang perkebunan. Sehingga, masih ada harapan yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Namun selama kurun waktu krisis ekonomi berlangsung dengan meningkatnya harga BBM. Maka, kedua jenis pendapatan terutama dari mereka yang bermata pencaharian ganda, seolah tidak berarti sebagaimana di masa-masa sebelum terjadinya krisis multimensional yang tak berujung pangkal itu. Tentu saja bisa dibayangkan dan sekaligus bisa dirasakan, akan betapa pedisnya kehidupan mereka. Karena untuk turun ke laut, mereka diperhadapkan dengan pertimbangan harga bahan bakar yang sangat tidak seimbang dengan hasil-hasil tangkapan, sehingga nelayan mengambil keputusan untuk tinggal di rumah.

Jika sebagian dari nelayan yang bermata pencaharian ganda tersebut, sudah mengalami getar-getirnya kehidupan. Maka, bagaimana dengan sebagian besar mereka yang bergerak semata-mata pada usaha penangkapan ikan saja ? Karena itu, keengganan turun melaut pada musim angin kencang dan ombak besar, lebih dominan dihantui oleh mahalnya harga bahan bakar, ketimbang resiko kecelakaan. Para responden mengakui bahwa melaut pada musim Barat, adalah sama saja terus menambah utang kepada kaum penada. Namun sekedar mencari ikan untuk dikonsumsi sehari-hari, mereka menggunakan perahu kecil (sampan) dengan berdayun menyusuri pinggir-pinggir lautan. Jika ada lebihnya, maka biasa juga dijual kepada para “papalele” setempat.

Namun ternyata keluhan mereka tidak serta merta berhenti, karena pada musim ikan diperhadapkan dengan kehadiran nelayan migran. Mereka mengeluh karena tidak mampu bersaing dengan peralatan penangkapan ikan nelayan migran dari Sulawesi Selatan itu. Akibatnya, nelayan di pesisir pantai Kecamatan laonti hanya bisa menangkap jenis ikan yang tidak tergolong sebagai ikan nomor wahid. Sementara ikan-ikan yang masuk sebagai jenis ikan dieksport, ditangkap secara besar-besaran oleh nelayan migran. Dengan demikian, berarti pemerintah harus turun tangan untuk segera menangani masalah kehidupan sosial ekonomi nelayan di Kecamatan Laonti. Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Koordinator Umum MPPI Sultra.

No comments: