Thursday, March 22, 2007

BETAPA SULIT MEMAKLUMINYA






Oleh

Peribadi

Mungkin masih bisa dimaklumi kalau kawula muda menunjukkan sikap dan perilaku brutalisme atau vandalisme di jalan, di sekolah, di kampus, di rumah kost, di Kafe dan atau di mana saja, termasuk di lingkungan rumah tangga sendiri. Karena selain mereka tengah berproses mencari identitas dan jati dirinya, juga boleh jadi mereka belum terdidik dan belum tercerahkan secara maksimal dan profesional.

Akan tetapi, bagaimana memaklumi kenakalan orang-orang tua yang ditunjukkan dan ditampilkan di berbagai ruang sosial kehidupan dewasa ini. Bagaimana kita bisa memaklumi kaum birokrat yang seharusnya bekerja melayani rakyat, tetapi justru memperagakan gaya hidup baginda yang harus dilayani ? Bagaimana memaklumi pemimpin kita yang seyogyanya harus mampu berempati dengan suka duka kehidupan serta menjadi suri tauladan bagi orang-orang yang dipimpinnya, tetapi justru memperlihatkan secara terang-terangan nuansa feodalisme picisan ? Bagaimana memaklumi elite-elite politik yang zig-zag bertarung dengan menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan rival-rival politiknya ? Bagaimana memaklumi bakal jadi calon atau calon-calon petarung Pilkada yang hanya siap jadi pemenang atau tidak siap menerima kekalahannya ? Bagaimana memaklumi kaum elite yang diamanahi perjuangan aspirasi rakyat, tiba-tiba menjelmah menjadi Orang Kaya Baru (OKB) ? Dan bagaimana kita memaklumi sikap kekanak-kanakan kaum elite yang pada umumnya ditunjukkan di berbagai ruang sosial kehidupan bangsa dan negara yang tengah merana ini ?

Secara sosiologis, ikhwal teka-teki inilah yang cukup misterius dan amat sulit ditemukan jawabannya. Pasalnya, sikap dan perilaku dimaksud, telah cukup lama tersosialisasi secara langsung dan tidak langsung di tengah kehidupan sosial kita. Akibat dari proses dinamika sosial dan perubahan budaya dengan berbagai eksesnya, maka seolah telah menjelmah bahwa nilai yang dahulu dianggap baik, tiba-tiba terpelanting menjadi tidak baik, dan demikian pula sebaliknya.

Kini, sesuatu yang sangat asing di masa lalu, sudah tampil mengemuka menjadi biasa-biasa saja di mata kebanyakan orang. Segala sesuatu yang kategori sangat sakral, sekonyong-konyong terguncang dan berubah menjadi pemandangan biasa dan tidak memalukan lagi. Coba saja dibayangkan, mendaftarkan diri sebagai orang yang beridentitas miskin palsu untuk mengambil bantuan yang diperuntukkan kepada orang-orang yang benar-benar miskin, seolah menjadi arena perlombaan empuk bagi sitangan jahil.

Betapa banyak contoh kasus yang bertebaran di permukaan sosial yang menandaskan nuansa desakralisasi, degradasi dan dekontruksi. Namun celakanya, seakan semuanya berani tampil beda dan terkesan menjadi perilaku yang rasional dan dapat dimaklumi. Tak apalah, mari kita berupaya memanfaatkan momentum bulan Ramadhan ini, sehingga kita mampu merekonstruksi dan merevolusi segalanya yang telah terlanjur menjadi bubur pada diri, kelompok dan bangsa kita. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

No comments: