Wednesday, March 21, 2007

PASTI ADA YANG DIKORBANKAN

Oleh

Peribadi

Paling tidak, ada teka-teki yang mungkin terlintas ketika melihat judul tulisan ini, di antaranya: mengapa harus ada yang dikorbankan, dan apa memang hidup ini harus mengorbankan sesuatu dan atau orang lain, sehingga kita kemudian bagai lalat bertebaran terbahak-bahak pada seonggok daging yang mungkin sudah basih, dan mungkin juga bangkai ? Mengapa yang satu harus dikorbankan dan yang lain tidak, atau kenapa ada segelintir orang yang sampai hati mengorbankan kehidupan orang lain atau kebanyakan orang ?

Demikianlah berbagai pertanyaan yang dapat mengemuka dan kemudian mungkin terkesan berperasangka baik dan buruk. Memang, sah-sah saja pertanyaan dimaksud meluncur ke permukaan, kalau tidak terlebih dahulu menyimak substansi makna yang tergores di dalamnya. Namun resonansi ini amat sederhana yang diinginkan, yakni ketika misalnya kita hendak bangun subuh untuk bermunajat ke hadirat Ilahi Rabbi, maka sudah pasti ada yang dikorbankan. Apakah kita berani dan ikhlas mengorbankan tidur nyenyak, atau shalat subuh yang harus dikorbankan ?

Itulah yang dimaksud wahai pembaca sekalian, karena pasti ada satu alternatif yang terpilih. Kalau bukan memilih melanjutkan tidur, maka pasti, kita memilih bangun dan langsung meangambil air wuduh dan kemudian tersungkur di sajadah. Kalau kita memilih terus tidur, berarti kita mengorbankan ibadah. Sebaliknya, kalau kita memilih bangun, berarti jelas pula bahwa yang kita korbankan adalah terlena di bantal balutan.

Sederhana khan ? Memang terasa cukup enteng, karena pemilihan alternatif yang membebankan, hanyalah pemilihan alternatif yang didasari dengan perspektif penghambahan kepada pemilik kerajaan langit dan bumi. Kalau orientasi penghambahan atau perbudakan kepada liberalisme, hedonisme dan materialisme, atau ada ilah-ilah lain yang diandalkan, maka semuanya dapat berjalan gampang-gampang saja, karena tidak perlu ada beban pertanggung jawaban. Apalagi mau dipusingkan dengan konsekwensi neraka jahannam.

Pusing amat dengan soal surga dan neraka. Itu persoalan kemudian, yang terpenting kita enjoi dulu – Demikian virus yang pada umumnya mengkangker di benak dan di otak anak manusia dewasa ini. Tak apalah, karena memang tidak pemaksaan untuk harus berjalan di garis edar yang tepat dan lurus (La Iqraa Fiddin). Please saja, karena rimbah pergulatan dan pergumulan hidup di antara yang haq dan yang bathil, sudah amat terang benderang. Semuanya terpulang kepada masing-masing yang berkepentingan (the final decesion making on you). Tak secuil pun pemaksaan untuk harus memilih yang satu dan mengorbankan yang lain. Tuhan hanya menfasilitasi kita setumpuk koridor dan platform peredaran yang lurus. Silahkan kita menentukan sikap masing-masing !!!

Namun betapa sederhananya, kalau kita hanya mengambil contoh kasus pemilihan dalam konteks bangun subuh atau terus tidur saja. Bagaimana kalau kita coba berrefleksi ke ruang konstalasi kehidupan yang lebih luas, yakni status posisition sebagai pejabat negara, sebagai pendekar aspirasi dan sebagai aparat hukum ? Sudah pasti ada pemilihan alternatif yang sungguh dilematis dan mungkin misterius. Dan sebagai konsekwensi logis, adalah mengorbankan rakyat kebanyakan, atau berdansa di atas penderitaan mereka itu. Akhirnya, haruskah memilih menjadi pejabat yang mengayomi, atau menjadi pembunuh berdara dingin ? Its depend on the person.

No comments: