Thursday, March 22, 2007

PLURALISME ATAU PLURALITAS ?


Oleh

Peribadi

Tampaknya, ilmuawan kita di Indonesia yang gandrung menyuarakan, atau siapa saja yang biasa tampil menjadi gerbong isme “SIPILIS (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme)” nota-bene mega proyek modernisme Islam (yang asli atau sekedar ikut-ikutan), memang memiliki kecerdasan intelektual dan kemampuan berdebat dengan dalil dan argumentasi yang memukau, sehingga seringkali membuat lawan-lawan tanding diskusinya tersudut, terperosok dan hingga mati akal.

Memang, paradigma Islam liberal yang muncul sebagai gerakan baru dalam sejarah pemikiran keagamaan di akhir abad XX, seolah menghipnotis penganut agama Muhammad SAW dengan hidangan logika-rasional yang terasa cukup lesat, tapi mungkin kontroversial. Apa daya, baik yang pro maupun kontra, tampak semuanya terlena dalam grant strategy kapitalisme global yang terus menumbuhkembangkan program brain washing (cuci otak), thought control (kendali pemikiran), dan ideological reform (reformasi idiologi) di balik gemerlapan materialisme dan hedonisme yang meninabobokkan itu.

Akan tetapi, Allah Jualah Yang Maha Adil Karena di tengah ketertundukan akibat dari fenomena menjangkitnya virus inferiority complex (sikap rendah diri) kaum Muslim ketika berhadapan dengan pahlawan SIPILIS kapitalisme global, tiba-tiba saja mentari keilmuan di ufuk Timur menyingsing dan mulai menampakkan sinarnya. Siapakah mereka itu ? Di antaranya: Indra Yogiswara yang jebolan Universitas Paramadina; Khalif Muammar A Harris kandidat PhD ISTAC-IIUM Malaysia; Muhibbul Aman Ali sebagai Kiai Muda NU yang sangat anti SIPILIS; Hamid Fahmy Zarkasyi pengasuh Ponpes Moderen Gontor Ponorogo yang sedang merampungkan disertasinya di ISTAC-IIUM Kualalumpur; DR Anis Malik Thoha yang digelar sebagai “Dokter Bedah Pluralisme”; Adian Husaini sang kolumnis kawakan yang sedang merampungkan disertasinya di ISTAC-IIUM Kualalumpur; Syamsuddin Arif sang peneliti INSIST yang sedang melanjutkan postdoktoral di orientalisches Seminar Frankfurt Jerman; dan mungkin ada lagi yang belum sempat penulis ketahui.

Dalam upaya memulai mensosialisasikan ide-ide dan analisis mereka, maka ada baiknya saya mencoba mengutip salah satu di antaranya, yakni DR. Anis Malik Thoha yang Ahli Bedah Pluralisme dimaksud. Menurutnya, setelah berjalan keliling mengisi workshop, ternyata, banyak tokoh dan cendikiawan kita yang tidak paham defenisi pluralisme agama, dan kebanyakan orang menyamaratakan makna pluralsime dan pluralitas.

Salah satu contoh kasus yang beliau ungkap ketika mengisi workshop di Pemengkasan Madura. Ketika itu ada seorang di antara peserta dari kalangan Dosen STAIN bertanya dan mendebatnya bahwa “Islam sangat menghargai pluralisme, karena pluralisme adalah Sunnatullah, sehingga mustahil ditolak”. Pak Anis menjawab bahwa “yang merupakan Sunnatullah adalah pluralitas (keberagaman), bukan pluralisme (paham yang menyamakan sesuatu yang beragam atau berbeda). Islam menghormati dan menghargai pluralitas, namun menolak pluralisme. Alhamdulillah, Dosen STAIN tersebut dengan dada lapang menyadari kesalahan dan kekeliruannya selama ini (Lihat Suara Hidayatullah, Januari 2006, hal 88-89). Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Aktivis Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sultra.

No comments: