Thursday, March 22, 2007

MENYOAL ETIKA SOSIAL SANG KRITIKUS


Oleh

Peribadi

Tanpa perlu mendefenisikan arti dan makna Etika Sosial. Yang pasti bahwa perihal yang seharusnya dilakukan oleh seorang kritikus, yakni selain harus mengungkap secara obyektif rasional dan sekaligus menerima dengan lapang dada atas life style, karakter dan prestasi seseorang (Baca: Pemimpin/Pejabat), juga harus dengan berani dan jujur membeberkan sesuatu, meski terasa amat pahit didengar. Sebab, kalau hanya pujian saja yang terus diungkap, maka selain dapat meninabobokkan sang pejabat yang bersangkutan, juga berarti sang kritikus terkesan “munafik”. Demikian pula sebaliknya, kalau hanya kekhilafan dan kekurangan saja yang terus ditonjolkan, maka mungkin sang kritikus itu tidak lebih dari tikus-tikusan.

Oleh karena itu, dalam upaya kita mengingatkan, mengontrol dan mengevaluasi peredaran roda pemerintahan di seantero republik tercinta ini, maka seorang aktivis, akademisi, budayawan dan kritikus-krtitikus lainnya, seyogyanya harus tampil dengan kecerdasan logika intelektual yang rasional obyektif serta dengan kecerdasan emosional yang spritualistis. Sebaliknya, bukan dengan gaya khas pragmatisme yang didandangi dengan subyektif irasional yang picisan. Kita harus belajar ikhlas untuk mengakui skill dan prestasi orang lain, sekalipun orang itu bukan bagian integral dari pertemanan kita. Demikian pula sebaliknya, kita pun harus berani dan rela mengkritisi kebejatan moral dan perilaku asosial, sekalipun mereka itu adalah bagian interdependen dari koncoisme kita.

Mungkin saja model Etika Kritikan dimaksud, penulis telah berupaya maksimal tunjukkan pada Interupsi terdahulu, ketika misalnya saya menyoal keberadaan Bupati Bombana sebagai “Sang Bupati Yang Mengagungkan” dan Bupati Kolaka sebagai “Sang Bupati Yang Patut Ditauladani”. Dalam konteks Bupati Bombana, saya deskripsikan ketika saya menyaksikan beliau membawakan Khutmah Jumat di mesjid Kampung Baru Kabupaten Bombana. Ketika itu, dengan retorikanya yang demikian persuasif, Ustaz H. Atikurahman mengajak hadirin dan hadirat untuk berupaya tidak saling fitnah (negative thingking). Marilah kata Beliau, kita positive tingking kepada siapapun.. Karena kita adalah hamba Allah yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Ikhwal sejenis ini, saya kira layak untuk dikedepankan, agar bisa mengingatkan pengungkapnya agar konsisten dengan ucapan-ucapannya. Dan boleh jadi juga dapat menjadi contoh pada pejabat-pejabat lain, karena menurut Foucault sebagai pakar Sosiologi Postmodernisme: “kekuasaan harus terartikulasi dalam moralitas dan pengetahuan. Demikian pula moralitas dan pengetahuan harus terartikulasi dalam kekuasaan”. Jika tidak, maka proses penyelenggaraan pemerintahan akan membuahkan penderitaan yang berkepanjangan. Dan inilah mungkin yang tengah terjadi di tengah bangsa dan negara tercinta ini. Karena itu, ajak dan himbaulah para pejabat kita untuk mengintegrasikan kekuasaan dan moralitas. Insya Allah, himbauan ke depan, akan saya coba tunjukkan dalam sebuah interupsi yang berjudul “Sang Bupati Yang Menyedihkan”. Adalah sebuah ide yang lahir atas penyaksian langsung, ketika telpon dan disposisi Bupati yang terkesan jadi sampah di tangan seorang KADIS. Aktivis MPPI Sultra dan Staf Pengajar Fisip Unhalu.

No comments: