Thursday, March 22, 2007

MUNGKIN SAJA STRUKTUR LOGIKA KITA TERBALIK ?

Oleh

Peribadi

Dalam filsafat, ada sebuah tingkatan berpikir yang disebut kritisime, sehingga bagi orang yang berpacu di atas logika ini. Maka, mereka senantiasa mengembangkan telaah-telaah kritis secara obyektif rasional. Paling tidak, kalau diakui sebagai subyektivitas, maka tetap mencerminkan subyektivitas rasional. Bukan sebaliknya, yang amat sangat terkesan menggambarkan subyektivitas irasional, karena berpacu di atas struktur logika terbalik.

Akan tetapi, di bawah panji-panji kritisisme tersebut, masih ada tingkatan pemikiran filosofis yang nota bene skeptisime yang mengembangkan telaah-telaah skeptis, sehingga diklaim subyektif irasional dan pesimis. Namun demikian, tidak berarti nuansa yang mengemuka dari perpektif telaah skeptis adalah negatif dan tidak berbobot sebagaimana yang pernah menimpa dua ahli kaliber nasional, ketika mereka mempertontonkan perdebatan sengitnya (polemik) artikel di kompas sekitar tahun 80-an.

Ketika itu, konsep ”Ekonomi Pancasila” dari Mubyarto disorot tajam oleh Arief Budiman dengan asumsi bahwa tidak ada yang namanya ekonomi Pancasila. Yang ada hanya ”ekonomi sosialisme dan ekonomi kapitalisme”. Menurut Arief Budiman bahwa ekonomi bangsa Indonesia hanya berada dan terombang-ambing di antara kedua ekonomi raksasa tersebut. Demikian pula, ketika Arief Budiman bengawan sosiolog yang kini hijrah ke Australia itu menyorot label ekonomi Wijoyonomic versus Habibinomic. Menurutnya, Habibinomic hanya sekedar ganti baju, karena isi dalamnya adalah tetap kapitalistis.

Menyoal sorotan yang pertama, ketika itu, Mubyarto dkk di Fakultas Ekonomi UGM menghantam balik tulisan Arif Budiman dengan judul ”Telaah Skeptis Arief Budiman” Judul artikel ini mengandung makna bahwa pemikiran Arief Budiman bukan sebuah telaah kritis, tetapi adalah sebuah telaah skeptis yang berada di bawah kelas kritisisme. Dalam artian, sorotan Arif Budiman tidak layak dikategorikan sebuah kritik yang rasional dan obyektif. Demikian kurang lebih yang penulis masih sempat ingat.

Tak apalah, terlepas dari benar salahnya, yang pasti secara faktual, kini memang yang namanya ekonomi Pancasila masih sedang menjadi mimpi di siang bolong atau masih tetap mengawang-awang. Dengan demikian, berarti pemikiran Arief tampak lebih faktual dan realistis ketimbang Almarhum Mubyato yang kita cintai.

Bagaimana, jika seandainya wacana pemikiran ekonomi Pancasila ketika itu, kita coba komparasikan dengan wacana perempuan yang kini menjamur bagai cendawan di musim hujan. Bukankah sorotan kaum feminis (yang memang patut dihargai) sebagai pejuang hak-hak asasi wanita, juga patut diklaim sebagai telaah skeptis ?

Menurut hemat penulis, entah berapa banyak kaum empu (asal kata perempuan) yang mulia dan bahkan layak dipertuankan. Akan tetapi, mereka terkapar di istana dan digubuk pelacuran. Betapa menyedihkan, karena kaum empu itu tergeletak tak berdaya mulai dari pinggir jalan hingga di hotel berbintang menjadi obyek nafsu angkara murkah dari pelacur kelas teri hingga kelas elite. Mengapa bukan obyek ini yang menjadi sorotan utama dari pejuang hak asasi dan tindak kekerasan terhadap kaum empu ? Mengapa kaum yang benar-benar jadi empu, karena resmi menjadi isteri dan sah dari seorang lelaki yang bertanggung jawab ? Tak pelak lagi yang kredible dan imaniah sekaliber AA Gym. Mungkin saja struktur logika kita terbalik-balik. Semoga tidak !!!

No comments: