Thursday, March 22, 2007

MERENUNGI KASUS ANAK-ANAK BANGSA


Oleh

Peribadi

Hari Anak yang senantiasa dirayakan di bulan Juli, seolah kita terlanjur memfokuskan perhatian pada eksistensi kawula muda dengan berbagai problematikanya. Getar-getir kehidupan putra-putri yang terlihat lucu, lugu dan mungkin juga nakal ketika di besarkan dalam pangkuan kepala rumah tangga yang beruntung atau diuntungkan oleh status sosialnya di bangsa dan negara tercinta ini. Namun duka nestapa yang amat terasa menyayat hati seolah tak mampu kita bendung ketika menyaksikan anak-anak bangsa yang terhempas dan terkapar di pinggir jalanan.

Betapa memilukan hati ketika segerombol anak pengemis yang masa depannya sudah pasti tak berujung-pangkal itu, mendekati orang untuk sesuap nasi. Entah jadi apa mereka di kemudian hari, karena hampir seluruh waktunya dihabiskan di pinggir jalan ? Tak pelak lagi di kota-kota metropolitan, anak-anak bangsa yang ngorok di kolom-kolom jembatan atau di segala tempat yang bisa mereka baringkan sekujur tubuh untuk melepaskan lelahnya, sudah menjadi pemandangan biasa.

Memang amat patut kita menangisi dan sekaligus kita refleksikan dalam sebuah perayaan yang digelar sebagai “Hari Anak”, agar kehidupan anak-anak bangsa yang lahir dan dibesarkan di tengah puing reruntuhan istana keluarga, dapat dicarikan solusi alternatifnya. Namun demikian, apakah pola hidup anak-anak bangsa yang lahir dan dibesarkan di tengah istana keluarga yang bergelimang harta karung, juga mampu menyayat dan memilukan hati ? Mungkin dan tentu saja bisa, karena refleksi perayaan hari anak tersebut, including menyoal keberadaan kawula muda dimaksud.

Sekali lagi, sudah pasti memilukan hati atas brutalisme kawula muda di berbagai gelanggang rumah tangga dewasa ini. Akan tetapi, apakah kita juga mampu menangisi dan sekaligus menyiapkan hari anak bangsa yang secara spektakuler menyoal dan merenungi kebrutalan anak-anak bangsa yang telah bergelar dengan berbagai macam predikat pada setiap tahun dan di bulan tertentu? Mungkin saja terasa kurang populer ketika kita coba merayakan “Hari Pejabat” dalam kapasitasnya sebagai anak-anak bangsa yang bagai cendawan di musim hujan dilanda dan diterpah isyu KKN. Tentu saja tidak salah, karena mereka yang berkedudukan sebagai pejabat itu, juga adalah bagian integral dari anak-anak bangsa Indonesia.

Di Sulawesi Tenggara saja misalnya, terlalu amat sulit menemukan figur pejabat bupati atau lebih dari itu, yang tidak dibombardemen dengan isyu KKN. Dan bahkan sudah ada di antara mereka yang sudah nongol di meja persidangan dalam tampilan saksi atau mungkin sudah tersangka. Dan boleh jadi masih ada yang kelak menyusulnya. Karena itu, seyogyanya ke depan, agar perayaan Hari Anak adalah sekaligus meyertakan seluruh komponen anak-anak bangsa, tanpa kecuali. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

No comments: