Wednesday, March 28, 2007

PARPOL ATAU LIFESTYLE PETARUNG PILKADA ?


Oleh

Peribadi

Seorang wartawan yang kebetulan saja adalah bimbingan saya ketika menyusun skripsi, bertanya: “bagaimana eksistensi Partai Politik (Parpol) dan para kandidat yang ikut bertarung dalam Pilkada di dalam pandangan masyarakat ? Tampaknya, pertanyaan ini mengandung dua masalah aktual dan problematik, yakni konteks organisasi politik serta dan keberadaan lifestyle individu dan pengaruhnya terhadap perilaku pemilih. Dalam artian, konteks mana yang lebih bepengaruh atau lebih menentukan, Parpol atau figur personal yang bersangkutan ? Mungkin saja keduanya tidak berpengaruh lagi Bung. Demikian komentar saya, ketika itu terlontar dengan agak rileks.

Namun kalau tetap saja kita berpacu di atas paradigma fakta sosial, maka tentu saja seluruh unsur yang bersumber dari luar individu mempengaruhi dan bahkan sangat menentukan perilaku individu, sehingga menjadi dependen (baca: ditentukan) oleh berbagai faktor eksternal. Namun dalam perspektif paradigma defenisi sosial, individu menjadi independent (baca: menentukan) dari berbagai faktor eksternal dimaksud, karena telah terjadi proses defenisi konseptual, terutama telah tercipta proses defenisi operasional pada masing-masing individu yang concern.

Sehubungan dengan itu, tampaknya keberadaan Parpol yang amat terasa kurang bermanfaat serta dianggap kurang memberi kontribusi yang sangat berarti terhadap penggapaian civil society. Dan bahkan sebaliknya, justru diklaim sebagai virus yang membuat suasana perpolitikan kita menjadi amburadul. Dengan demikian, besar dugaan bahwa Parpol sebagaimana dalam perspektif paradigma fakta sosial tampak tidak cukup signifikan lagi dengan perilaku dan kecenderungan pemilih. Namun dalam konteks individu atau personal sebagaimana dimaksud paradigma defenisi sosial, boleh jadi masih bisa diharap sebagai indikator pertimbangan yang tersisa bagi pemilih dalam menentukan pilihannya ke depan.

Tak pelak lagi, aneka ragam Parpol beserta idiologi yang hampir tidak bisa dibedakan, diduga tidak cukup signifikan terutama dengan kecenderungan pemilih yang kategori rasional. Kecuali bagi pemilih yang nota bene konservatif, mungkin masih bisa dininabobokkan. Karena itu, track record dan kharisma dari seorang figur merupakan satu-satunya variable yang mungkin masih bisa diharap untuk menjadi bahan pertimbangan pemilih. Hal itu pun, perilaku pemilih yang kebetulan saja masih dominan konservatif, sehingga cenderung tertarik kepada figur yang senantiasa tampil popular.

Jika demikian, apa yang bakal terjadi, jika figur yang nota bene popular tersebut adalah mereka yang tidak berbekal political will untuk mampu menggiring bangsa dan negara yang tengah merana ini, untuk keluar dari kemelut dan lilitan lingkaran setan kini ? Maka berarti, harapan dan dambaan masyarakat kembali pada hasil yang sama, yakni kekecewaan dan seterusnya adalah ketidak percayaan yang pada gilirannya berujung pada multi krisis. Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Awak MPPI Sultra.

No comments: