Wednesday, March 28, 2007

HARUS CERDAS MENERIMA KENYATAAN


Oleh

Peribadi

Siapa pun, dimana pun dan kapan pun anak manusia menyelenggerakan serta melangsungkan aktivitas di gelanggang kehidupan semu ini, maka mereka harus cerdas dan ikhlas menerima kenyataan pahit sekalipun, yang terjadi pada diri, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Kita tidak boleh hanya cerdas menerima yang manis-manis saja. Karena akibatnya, adalah bukan hanya bakal dilanda stress. Akan tetapi, juga mereka tergolong orang-orang yang tidak ridho menerima keputusan Penguasa Langit dan Bumi berserta seluruh isinya.

Secara sosiologis, ketidak-cerdasan menerima realitas sosial sudah pasti akan membuahkan gejala dis-interaksi dan mis-konsepsi dengan kawan-kawan. Tak pelak lagi, dengan kolega yang memang sejak awal dianggap sebagai musuh bebuyutan. Maka, mungkin saja senantiasa menuding teman sendiri sebagai biangkladi dari keadaan yang tengah dirasakan. Dan bahkan, boleh jadi hampir semua kejadian yang dianggap tidak sesuai dengan harapan dan dambaan, terus diarahkan kepada orang lain sebagai penyebab utama. Padahal, mungkin saja hal itu adalah kesalahan kita masing-masing.

Paling tidak, memang kecerdasan menerima kenyataan faktual yang manis sekalipun, harus ditopang oleh dua hal mendasar. Pertama, seseorang harus memiliki ”kesadaran eksistensial” dalam kapasitasnya sebagai hamba. Dalam artian, harus disadari bahwa keberadaan kita di muka bumi hanyalah merupakan aktor dan aktris yang telah siap memerankan aksi-aksi yang telah didesain sedemikian rupa oleh sang sutradara. Dan ketahuilah, sesungguhnya ”Sutradara Ulung” yang tak mampu diimbangi dan ditandingi oleh siapa pun jua adalah Allah SWT. Kita yakin dan percaya bahwa jika pola kesadaran seperti ini yang menghunjam ke dalam nurani seseorang, maka boleh jadi degelan politik dan ”kenakalan elite sosial” sebagaimana dimaksudkan Agus, tidak santer mengemuka sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.

Kedua, ketika kita sudah mahfun dan maklum atas derajat penghambahaan, maka kemudian marilah kita merakit struktur logika secara sistemik. Kalau perlu, segera kita melakukan proses restrukturisasi pemikiran secara revolusioner, karena jangan sampai kita cenderung membenarkan yang salah dan mensalahkan yang benar; mengidolakan penjahat dan membenci sang pahlawan. Dalam artian, jangan sampai kita terkesan licik melipat-lipat dunia realitas menjadi hiper-realitas. Dan apalagi lihai membolak-balik antara dunia virtual dan dunia faktual. Akhirnya, jika struktur logika terpola sebagaimana mestinya, maka sudah pasti yang terang tetap terang, yang remang-remang tetap remang-remang. Bukan sebaliknya, yang gelap terlihat terang dan terang terlihat gelap atau remang-remang. Awak Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sultra.

No comments: