Tuesday, March 20, 2007

DEGRADASI PRANATA DAN PROYEK PEMISKINAN


Oleh

Peribadi

Memang terkesan cukup menarik ketika kita mencoba merunut perdebatan teoritis konseptual atas eksistensi pranata sosial selama kurun waktu gebukan modernisasi dengan berbagai perangkat keras dan lunaknya. Ia seolah merupakan sebuah proses dialektika pemikiran yang terus mengemuka dengan berbagai argumentasi ilmiah yang persuasif dan tak berujung pangkal.

Mungkin saja ikhwal ini tergolong kadaluwarsa, karena sorotan genjar para ahli sosiologi dan antropologi terhadap pembangunan pertanian di pedesaan berdendan sejak tahun 1970-an. Sejak itu, sebagian ahli menohok persebaran teknologi pertanian modern ke daerah pedesaan menyebabkan kaum buruh tani kelaparan tanah, sehingga tercipta polarisasi. Namun sebagian pula ahli mengklaim persebaran teknologi modern justru membuahkan pemerataan ekonomi yang tidak terpolarisasi, melainkan justru mendorong pelipatgandaan lapisan petani dalam strukrtur berspektrum kontinum atau stratifikasi.

Yang mana dari kedua pandangan ahli tersebut, yang mungkin dianggap lebih empirik terjadi di Sulawesi Tenggara ? Tentu saja harus melewati penelitian mendalam untuk menemukan jawaban valid. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ketika pemerintah Orde Baru melancarkan revolusi hijau, tampaknya pandangan Geertz ini mendapat tanggapan dari banyak ahli. Diantaranya Collier dkk (1974) bahwa revolusi hijau tersebut telah menciptakan proses evolusi, sehingga sistem kelembagaan egaliter masyarakat desa menjadi tertutup yang pada gilirannya menimbulkan kesenjangaan dan polarisasi sosial. Hal ini terjadi, karena ada kesempatan bagi petani barlahan luas untuk sukses menjadi kelas komersial yang dapat mengabaikan loyalitas kepada petani yang sebelumnya sama-sama miskin.

Pandangan Collier dkk-nya yang sejalan dengan penganut teori ekonomi radikal Marxis ini, cenderung melihat ekonomi berskala dalam teknologi modern sebagai penyebab utama terciptanya polarisasi. Akan tetapi, para ahli kemudian berpaling lagi kepada pandangan Geertz, sebab tidak terdapat banyak bukti bagi pandangan pertama. Bagi Hayami dan Kikuchi (1987), kesenjangan di pedesaan bukan desebabkan oleh teknologi, karena teknologi yang kurang maju sehingga kurang cepat mengejar pertumbuhan penduduk yang terjadi. Disyaratkan pula oleh beberapa penantang kaum struktural bahwa dinamika ekonomi sosial desa, bukan karena sekedar revolusi teknologi biologi dan kimiawi, tetapi juga dikondisikan oleh lonjakan penduduk serta penyusupan sistem kapitalis di pedesaan.

Akhirnya, apa yang terjadi kemudian ? Besar dugaan, potensi homogenitas sosial yang merupakan mutiara komunitas pedesaan terkubur di tengah gegap gempitanya alam modernisasi. Dan hal ini berakibat fatal, karena menjadi momentum strategis bagi kaum elite untuk menumbuhkembangkan ”Proyek Pemiskinan” di tengah masyarakat yang kehilangan power of bargaining position, akibat dari proses marjinalisasi struktur dan kelembagaan sosial. Oleh karena itu tepatlah, jika Bappeda Kota Kendari mencanangkan program sosialisasi pembentukan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sebagai upaya antisipatif dan kuratif atas proyek pemiskinan dimaksud. Dan penulis sebagai salah seorang di antara Koordinator Tim yang terlibat, penuh harap kiranya program ini menjadi secercah upaya pencerahan atas penumpasan virus kemiskinan dan pemiskinan. Awak MPPI Sultra.

No comments: