Thursday, March 22, 2007

JIHAD KEMISKINAN

Oleh

Peribadi

Mungkin ada dua langkah sederhana yang dapat dikembangkan, sehingga terhindar dari miskonsepsi jihad, akibat dari stigmatisasi yang membuat banyak orang tergetar, ketika mendengar kata jihad itu. Dan memang amat memungkinkan diplesetkan oleh kaum “SePiLis” yang kebetulan cerdas mencari duit di tempat yang remang-remang.

Pertama, sangat penting mengembangkan proses identifikasi dan klassifikasi pendataan yang berbasis partisipatif. Pasalnya, selama ini berbagai jenis konsep kemiskinan harus dikaji dengan suryey, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan realitas sosial ekonomi serta tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat yang berkepentingan. Kalau jenis “kemiskinan absolut” misalnya, yang selama ini diukur dari segi upaya pemenuhan sandang, pangan dan papan, boleh-boleh saja pendekatan survey jadi dewa fortuna.

Akan tetapi, kalau “kemiskinan relatif” dalam konteks ruang dan waktu, serta kemiskinan subyektif” yang harus dirumuskan berdasarkan subyektivitas kelompok sosial miskin itu sendiri. Maka, sudah semestinya dikaji secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan “partisipatif” dan analisis “verstehen”. Jika tidak, maka selain di dalamnya terkandung nafsu dan keangkuhan konseptor dan para aktornya, juga pada gilirannya orang miskin akan cerdas membuat revolusi.

Oleh karena itu, besar dugaan bahwa proses penanggulangan kemiskinan yang selama ini tampak tidak berujung pangkal dan sangat terkesan mubazzir serta bahkan kian bertambah banyak orang-orang miskin, adalah bukan disebabkan oleh tidak konstruktifnya strategi penanggulangan kemiskinan. Akan tetapi, hal ini terjadi karena belum tersedianya data basis yang holistik sebagai akibat dari proses identifikasi data yang tidak relevan dan proporsional, menurut masing-masing pendekatan yang seyogyanya digunakan. Selain itu, juga belum maksimal melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), terutama dari salah satu komponen masyarakat yang dikategorikan sebagai “Tokoh Masyarakat Miskin”.

Kedua, tak ada salahnya jika kita coba sepakat mengembangkan stigmatisasi khas kepada oknum-oknum penguasa (pejabatlah) dan pengusaha yang selama ini tampil menjadi wong licik dengan taktis halus menilep harta karung negara, sehingga tidak hanya menyebabkan rakyat jelata tampil menjadi wong-cilik yang kian melarat. Akan tetapi, juga sukses gemilang mencungkir-balik bangsa kita jadi terkorup yang amat memalukan. Kita yakin dan percaya, jika taktis dan strategi stigmatisasi dimaksud berjalan mulus, kelak berujung pada sebuah pengetahuan umum bahwa status posistion yang amat memalukan adalah menjadi pejabat, karena mereka tidak lebih dari seorang penjahat (gerombolan kotalah).

Akhirnya, boleh jadi ke depan, kaum elite agak ekstra hati-hati jika mereka kepingin tampil menjadi pejabat. Yang pasti, mereka akan berupaya maksimal untuk tidak tampil menjadi penjahat. Dalam artian, akan menjadi pejabat yang percaya pada hari akhirat, sehingga takut mengembangkan: tiranical nafs-nya. Awak Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sultra.

No comments: