Wednesday, March 21, 2007

SELAMATKAN KAMI PA-GURU


Oleh

Peribadi

Pa-Guru dan Pa-Dosen sebagai tulang punggung dan sekaligus menjadi ujung tombak pencerahan siswa dan mahasiswa telah meneteskan keringat dan mungkin juga air mata dengan upah sekedar memenuhi sesuap nasi sehari-hari, tampak belum juga berhasil kita gapai. Tak pelak lagi ketika kita mencoba mewacanakan kecerdasan emosional plus kecerdasan spritual, maka kegagalan kian terasa sempurnah.

Betapa tidak, selain sang pelajar itu dan mantan pelajar kini terkesan goblok dibanding dengan penghuni negara-negara tetangga, juga sekaligus kita dengan sangat mudah diklaim bermental buruk dan budak. Dan tudingan tersebut kian sulit terbantahkan, karena terlalu amat sulit menemukan di bangsa yang tengah merana ini, anak-anak bangsa yang tidak menunjukkan perilaku brutal ketika mereka menempati sebuah posisi di berbagai lembaga strategis. Di eksekutif, di legislatif dan yudikatif, dan demikian pula di lembaga-lembaga independen dalam bentuk Komisi Pemilihan Umum misalnya, seakan semuanya telah memperagakan potret sandiwara bombastis dan gombalistis.

Tampaknya, tidak terlalu mengherankan jika potret kebrutalan kawula muda dalam pelbagai aksi di lingkungan rumah tangga ketika berhadapan dengan orang tuanya, di pinggir jalan ketika berpapasan dengan masyarakat umum, dan di lingkungan sekolah ketika berdialog dengan guru-gurunya. Demikian pula bagi mereka yang telah terpoles dengan pendidikan formal dengan segala suka-duka kehidupannya hingga berbagai gelar yang sukses gemilang disandangnya. Namun ketika menempati sebuah status sosial di berbagai institusi kenegaraan, seolah mereka semua berperan penting atas predikat kita sebagai negara terkorup. Bukankah ini sebagai sebuah fakta kecelakaan sosial yang amat menggelitik bahwa ternyata, bukan hanya anak-anak bangsa yang sedang memperoses diri di lembaga pendidikan yang bermasalah. Akan tetapi, juga para mantan siswa dan mahasiswa itu yang tampak lebih problmatik.

Kini, genderang kebrutalan moral anak-anak bangsa ini, tertabu dan terdengar berdenting kian keras, ketika awak-awak lembaga atau institusi independen yang bergelar semisal kasus “Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lain-lain yang berjejal dari pusat ke daerah, dilanda isyu perampokan dan sejenisnya. Sungguh-sungguh mencemaskan, karena selain lembaga dan institusi yang nota-bene independen beserta awak-awaknya yang tajam kritis, potretnya reformis dan mungkin juga bertalenta revolusioner. Ternyata, tidak lebih dari kumpulan tikus-tikus yang amat mudah dilekatkan atau dilengketkan di belakang predikatnya, yakni kri-tikus dan repot-nasi.

Oh, Pa-Guru dan Pa-Dosen selamatkan kami ! Jangan segan-segan dan apalagi malu-malu merekonstruksi niatan mulianya untuk tampil menjadi pendidik yang akan menebarkan cahaya Tuhan di benak dan di nurani siswa dan mahasiswanya. Ajarkan kepada kami Pa-Guru bahwa menjadi petani sekalipun adalah lebih mulia dan terhormat, dari pada menjadi pejabat, akan tetapi membuat rakyat kebanyakan menjadi melarat dan merintih, bahkan menggiring kita menjadi bangsa budak dan terkorup.

No comments: