Thursday, March 22, 2007

PERADABAN DAN KEBIADABAN


Oleh

Peribadi

Peradaban dan kebiadaban beserta seluruh gerombolannya, merupakan dua kelompok sosial pergerakan yang terus bergesekan di sepanjang zaman kehidupan anak manusia. Keduanya merumuskan progran kerja dan strategi perjuangan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing.

Adalah zaman jualah yang menjadi saksi kunci sejarah pergumulan dan pergulatan mereka. Silih berganti kemenangan dan kekalahan adalah menandai perjalanan dan pengembangan visi dan misi mereka. Pada kurun waktu tertentu, sang aktivis peradaban memenangkan pertarungan itu, dan pada periode berikutnya, sang aktivis kebiadaban tampil jadi pemenang. Begitulah seterusnya, proses dialektikal tesis dan antitesis terus bergumul, hingga kemudian menjelmahkan sebuah sintesa. Seterusnya, tesis baru akan berhadapan dengan antitesis baru, hingga muncul lagi sintesis baru, dan seterusnya.

Persoalannya kemudian, masih perlukah dikaji dan disepakati bahwa model, bentuk dan strategi pengembangan aktivitas sejenis ini dan itu yang dapat dikategorikan sebagai pejuang peradaban dan atau pejuang kebiadaban. Katakanlah, aktivis dan pejuang pornografi dan prnoaksi adalah bagian integral dari para gerombolan kebiadaban ? Kalau kita sepakat, maka tidak perlu diperdebatakan, tapi sebaiknya dimaklumi saja bahwa memang life style anak manusia di sepanjang zaman dengan berbagai duka dan nuansa kehidupannya adalah bernauang di bawah panji pluralisme.

Dalam konteks inilah, dibutuhkan kearifan dalam merespon aktivitas kelompok sosial lain, karena ini adalah sesuatu yang sifatnya sangat naturalistis. Berilah kesempatan semua pihak untuk melebarkan dan mengembangkan ruang lingkup pergerakannya. Waktu jualah nanti yang akan menjadi saksi kunci, siapa yang kelak jadi pemenang, terkalahkan dan hingga kembali menjadi terkalahkan dan menang lagi.

Dengan demikian, bisa dimaklumi pula perjuangan dengan Mungkin saja, memang tidak disadari oleh mereka yang biasa digelar orang cerdas. Apakah ia sebagai akademisi, atau seorang cendikiawan otodidak, pada umumnya mereka cenderung mengandalkan dan bahkan terkesan sangat mendewakan otak neo cortex sebagai lapisan luar dari otak manusia yang memang mampu berfilsafat, berlogika, menghitung, mengoperasikan komputer, mempelajari berbagai macam bahasa, memahami rumus-rumus fisika dan melakukan perhitungan yang rumit sekalipun.

Memang, mendayagunakan dan menghasilgunakan kekuatan Intelligence Quotient (IQ) secara maksimal dalam rangka mengangkat derajat kemanusiaan, adalah sesuatu yang pasti dan sungguh-sungguh diharapkan. Akan tetapi, pendewaan pada otak neo-cortex dan kemudian mengabaikan otak lapisan tengah, yakni “lymbic system” yang mampu mengendalikan emosi manusia. Maka, selain kita belum berhasil memanfaatkan sekujur tubuh manusia sebagai sebuah universitas yang bersaranakan fakultas otak dan fakultas rohani, juga berarti, kita belum mampu memfungsikan hati kita sebagai radar.

Padahal, jika kita mau mencoba menyimak beberapa hasil penemuan spektakuler dari para ahli yang ternyata sudah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dan sekaligus memperkuat tesis Imam Ghazali sebagai ulama dan filosof Islam yang terlebih dahulu menandaskan bahwa dasar keceradasan manusia berada dalam ruang kesadaran spritual. Mari kita coba renungkan kedua tesis berikut ini, di antara banyak banyak tesis lain yang mungkin lebih menakjubkan.

Pertama, Albert Enstein menandaskan bahwa kreativitas itu muncul di titik pusat gravitasi kesadaran emosional dan proses kreasi justru berada di luar jangkauan logika (Natatmadja, 1997). Betapa mengagungkan, karena seorang fisikiawan yang kategori ilmuawan kaliber dunia, justru berpandangan demikian. Sementara di tengah nestapa kehidupan bangsa dan negara tercinta ini, tidak sedikit – kalau tidak ingin dikatakan: “terlalu banyak” di antara kita yang kelewat menyombongkan rasio dan logikanya.

Kedua, penemuan Daniel Goleman sebagai seorang pakar psikolog Amerika tentang “Emotional Intelligence” yang secara monumental menjungkir balik kekuatan Intelligence Quotient (IQ), karena hasil penyelidikannya membuktikan bahwa kesuksesan seseorang itu, bukan didominasi oleh potensi kecerdasan intelektual. Akan tetapi, sangat ditentukan oleh ketinggian kecerdasan emosinya. (Alibasyah, 2003).

Dengan demikian, berarti penemuan ilmiah ini, selain kian memperjelas kekuatan rohani sebagai kunci penentu kesuksesan, juga sekaligus menjadi informasi penting atas perlunya kita segera hentikan mendewa-dewakan otak neo-cortex. Tak pelak lagi, kalau kenyataannya, memang kita goblok-goblokan. Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Aktivis Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sultra.

No comments: