Wednesday, March 21, 2007

INGIN JADI TAULADAN HIDUP SEDERHANA

Oleh

Peribadi

Mengapa tidak ? kita seharusnya memang harus menjadi suritauladan dalam konteks visi, pola pikir, dan tindakan sosial. Akan tetapi, kalau belum memungkinkan, karena beberapa variabel yang tidak mampu kita hayati dan amalkan. Maka, tak apalah kita berupaya semaksimal mungkin dalam aplikasi pola hidup sederhana saja. Pasalnya, bangsa dan negara kita sungguh-sungguh terpuruk dan tak seorang pun yang berani membantahnya dengan argumen goblok sekalipun atau secerdas apapun, bahwa roda kehidupan masyarakat terseok-seok, karena ada segelintir orang yang menikmati kekayaan alam lewat paradigma keserakahan dengan metodologi pemiskinan dan pembodohan terselubung, dan bahkan selama ini sudah berlangsung secara terang-terangan.

Karena itu, persoalan paling fundamentil adalah siapa yang hendak dan lebih pantas diajak untuk hidup sederhana di bangsa dan negara tercinta ini ? Logiskah kita mengajak hidup sederhana kepada mereka yang selama ini kurang beruntung (disadvantage) yang sekedar bergelut dengan segala daya dan enersinya untuk sekedar menyelematkan ekonomi rumah tangganya seharian yang pada esok harinya belum dapat dipastikan, apakah mereka berhasil memperoleh sesuap nasi untuk mengganjal perut ?

Konstalasi kehidupan seperti inilah yang pernah difrontal dalam versi bahasa editorial Metro Tv sepekan lalu yang memang menarik disimak setiap pagi di pukul 7.30 WITA. Tentu saja tidak terlalu membingungkan untuk mencari orang-orang yang lebih layak, lebih pantas dan lebih logis untuk diajak hidup sederhana. Mayoritas penghuni bangsa ini adalah tergolong kurang beruntung dan kategori tidak beruntung. Dan minoritas anak-anak bangsa yang tampak terleha-leha menikmati potensi sumber daya kita.

Tak perlu kita bersusah-susah mencari dan menghimbau mereka yang kurang dan tidak beruntung itu, karena sudah sejak awal mereka telah hidup di bawah sederhana dengan pola hidup yang amat memprihatinkan. Upaya pemenuhan kebutuhan anggota rumah tangga sehari-hari saja sudah layak ditangisi. Maka, bagaimana dengan upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya ?

Sementara di balik getar-getir kehidupan mayoritas anak-anak bangsa ini, terdengar dan terlihat pola hidup mubazir yang terkesan seperti lalat-lalat yang berterbaran, berterbangan dan terbahak-bahak di atas tulang-belulang penderitaan. Terkadang kita dibungkam oleh kisah orang beruntung material ketika dengan bangga membeberkan aksinya di lingkungan KAFE, dll di malam hari dengan menghabiskan setumpuk RUPE sebagai biaya ekonomi dan biaya sosial sekaligus. Tersentak bukan kepalang, ketika ada rekan penguji Skripsi dengan dalil ilmiah picisan berkesimpulan bahwa KAFE itu baik. Akhirnya, tanpa perlu diajak, siapapun yang berasa beruntung, senantiasalah berinfaq kepada orang-orang yang terkapar itu. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

No comments: